Dominasi Ekonomi AS akan Digantikan Islam?
Perekonomian Amerika Serikat (AS) dan Eropa tengah mengalami keterterpurukan. Itulah headline di berbagai media nasional maupun internasional minggu ini.
Pada dekade 2000-an ini, AS dan Eropa yang telah lama bercokol menjadi pemegang kekuatan ekonomi global itu kini sedang terpuruk dan ambruk dengan tingkat pertumbuhan hingga sulit mencapai 3 persen per tahun. AS dan Eropa juga terjebak dalam timbunan utang yang melebihi 100 persen. Padahal, menurut perhitungan, kisaran porsi timbunan utang yang aman bagi AS di angka 72 persen dari PDB dan untuk Eropa 60 persen dari PDB. Gejolak bursa, pudarnya kepercayaan konsumen dan korporasi merupakan dampak yang kian dirasakan AS dan Eropa. Efek domino bagi perekonomian global juga menjadi ancaman serius yang kian dikhawatirkan oleh berbagai negara di dunia. Posisi AS dan Eropa yang selama ini menjadi pemegang kekuatan ekonomi global juga diprediksikan berpeluang besar untuk ‘berpindah tangan’. George Soros mensinyalir hal itu dengan menyebut keadaan yang terjadi saat ini sebagai “the end of the era”. China diprediksikan akan menjadi penerima ‘tongkat estafet’ dari AS dan Eropa itu. Namun, bagi ekonom Islam, tak menutup kemungkinan Islam ‘lah yang menjadi raksasa ekonomi dunia pengganti AS dan Eropa.
Kalangan ekonom Islam melihat fenomena ini sebagai peluang bagi bangkitnya perekonomian Islam dengan basis ekonomi syariah-nya untuk menjadi solusi alternatif guna menyelamatkan ancaman keterpurukan perekonomian global akibat kejatuhan AS dan Eropa. Mereka juga optimis Islam bisa menjadi kekuatan ekonomi alternatif pasca-AS dan Eropa, dengan mengembangkan perekonomian berbasis keadilan dan keseimbangan. Kepada Mizan.com, Dr. Euis Amalia, pengamat ekonomi Islam dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menegaskan bahwa “Keterpurukan yang terjadi di AS dan Eropa saat ini membuka peluang sekaligus memberikan dukungan untuk ekonomi Islam menjadi solusi”. Dr. Euis melanjutkan, “Ekonomi konvensional memunculkan ‘buble economic’, di mana nilai dan etika terabaikan. Transaksinya yang berdasarkan pada riba, sifatnya yang spekulatif dan eksploitatif telah menjadi hal paling mendasar dari ekonomi kapitalis. Sementara ekonomi Islam mengakomodasi nilai-nilai tauhid, keseimbangan, keadilan, pertanggung jawaban dan dikembangkan dengan sistem akad dan transaksi berbasis syariah yang mengedepankan aspek maslahat yang bertumpu pada distributif ekonomi di atas nilai moral Islam”.
Perekonomian Amerika Serikat (AS) dan Eropa tengah mengalami keterterpurukan. Itulah headline di berbagai media nasional maupun internasional minggu ini.
Pada dekade 2000-an ini, AS dan Eropa yang telah lama bercokol menjadi pemegang kekuatan ekonomi global itu kini sedang terpuruk dan ambruk dengan tingkat pertumbuhan hingga sulit mencapai 3 persen per tahun. AS dan Eropa juga terjebak dalam timbunan utang yang melebihi 100 persen. Padahal, menurut perhitungan, kisaran porsi timbunan utang yang aman bagi AS di angka 72 persen dari PDB dan untuk Eropa 60 persen dari PDB. Gejolak bursa, pudarnya kepercayaan konsumen dan korporasi merupakan dampak yang kian dirasakan AS dan Eropa. Efek domino bagi perekonomian global juga menjadi ancaman serius yang kian dikhawatirkan oleh berbagai negara di dunia. Posisi AS dan Eropa yang selama ini menjadi pemegang kekuatan ekonomi global juga diprediksikan berpeluang besar untuk ‘berpindah tangan’. George Soros mensinyalir hal itu dengan menyebut keadaan yang terjadi saat ini sebagai “the end of the era”. China diprediksikan akan menjadi penerima ‘tongkat estafet’ dari AS dan Eropa itu. Namun, bagi ekonom Islam, tak menutup kemungkinan Islam ‘lah yang menjadi raksasa ekonomi dunia pengganti AS dan Eropa.
Kalangan ekonom Islam melihat fenomena ini sebagai peluang bagi bangkitnya perekonomian Islam dengan basis ekonomi syariah-nya untuk menjadi solusi alternatif guna menyelamatkan ancaman keterpurukan perekonomian global akibat kejatuhan AS dan Eropa. Mereka juga optimis Islam bisa menjadi kekuatan ekonomi alternatif pasca-AS dan Eropa, dengan mengembangkan perekonomian berbasis keadilan dan keseimbangan. Kepada Mizan.com, Dr. Euis Amalia, pengamat ekonomi Islam dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menegaskan bahwa “Keterpurukan yang terjadi di AS dan Eropa saat ini membuka peluang sekaligus memberikan dukungan untuk ekonomi Islam menjadi solusi”. Dr. Euis melanjutkan, “Ekonomi konvensional memunculkan ‘buble economic’, di mana nilai dan etika terabaikan. Transaksinya yang berdasarkan pada riba, sifatnya yang spekulatif dan eksploitatif telah menjadi hal paling mendasar dari ekonomi kapitalis. Sementara ekonomi Islam mengakomodasi nilai-nilai tauhid, keseimbangan, keadilan, pertanggung jawaban dan dikembangkan dengan sistem akad dan transaksi berbasis syariah yang mengedepankan aspek maslahat yang bertumpu pada distributif ekonomi di atas nilai moral Islam”.